Seperti
kita semua
Setiap
pejuang adalah anak zaman
Tetapi
mereka menguak celah dinding sejarah
Tepat
di saat mentari meninggi
Lalu
peradaban menjadi lebih cerah
(Salim
A. Fillah)
Setiap tahun
memang mempunyai kisahnya masing-masing, adakalanya dimulai dengan masa yang
sulit karena harus beradaptasi dengan lingkungan menjadi tuntutan, ada juga ketika masa
depan menjadi cita-cita yang menerbitkan segala asa untuk mengerahkan segenap
kemampuan. Tapi di dalam tulisan ini aku akan mencoba mengambil potongan tengah
ingatan dari 3 tahun perjalanan remaja-remaja tanggung yang nggak sengaja
disekolahkan oleh negara, di madrasah sekitar pasar, tapi harum namanya tercium
hingga pelosok negeri ini.
Setiap angkatan
pasti punya ujiannya masing-masing, termasuk kami, dan tak dapat dipungkiri
kamipun diuji dengan satu hal yang mengusik kami setiap saat, yaitu masalah
pelajaran. Pelajaran yang sulit dan tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik
menjadi sebuah masalah tersendiri bagi kami yang belajar dengan bantuan subsidi
dari pemerintah. Ditambah dengan padatnya kegiatan OSIS -yang kami emban saat
itu- memecah fokus kami dalam belajar, apalagi bayang-bayang drop out
karena masalah pelajaran menghantui kami.
Sebenarnya mudah
saja untuk mengabaikan pelajaran, cukup dengan 4 nilai mapel yang tercantum di raport
di bawah KKM (kriteria ketuntasan minimum) atau bahkan hanya dengan 1 nilai
pelajaran pendidikan (seperti kewarganegaraan dan olahraga) di bawah KKM kami
sudah bisa mengantongi tiket drop out. Memang kondisi kami saat itu
terlunta-lunta menghadapi pelajaran, saat pengumuman UTS semester ganjil lebih
dari setengah jumlah kami saat itu mendapati 3 atau lebih nilai pelajaran
dibawah KKM, 12 orang diantaranya
didapati nilai di bawah kkm sebanyak 5 pelajaran, bahkan ada yang mendapat 7
nilai pelajaran di bawah KKM. Tak ayal itu sangat berpengaruh pada hasil proses
belajar kami di semester ganjil, sebanyak lusinan dari kami mendapat nilai di
bawah KKM di raport semester. Bayangan akan keluar dari madrasah terpampang
jelas di depan mata kala itu. Terngiang di ingatan tentang perjalanan satu
semester sebelumnya di kelas 10.
Masih hangat
ingatanmu tentang sahabat-sahabat di kelas 10 yang berjuang mati-matian menyelamatkan
diri mereka sendiri. Hari-hari terakhir -setelah ujian semester selesai- mereka
di madrasah dihabiskan dengan bolak-balik ke ruang guru mengharap sebuah
keajaiban menyelamatkan mereka dari drop out. Pada akhirnya hanya
sebagian dari mereka yang selamat dan sebagian lagi tidak. Sakit sekali rasanya
bila diingat kembali masa itu, dimana status keberadaan mereka sangat kritis, tapi
di sisi lain kita tidak bisa melakukan apa-apa. Walaupun demikian, satu
pertolongan datang menghampiri.
Keberuntungan
nampaknya masih berpihak kepada kami, atas izin Allah, lewat keputusan pihak
kurikulum kami diberi kesempatan memperbaiki nilai raport semester ganjil yang
dilaksanakan di semester dua nanti. Senang sih, tapi gondok juga ngeliat adek
kelas 10 dengan mudahnya melewati semester ganjil seperti tanpa halangan,
karena mereka menggunakan kurikulum 2013 yang kasarnya bisa dibilang dirancang
untuk memastikan pemakainya lulus atau paling tidak ‘aman raportnya’. Namun hal
itu pula yang mengukuhkan kami dengan sebutan ‘pembeda’, hal yang baru kami
sadari pula menjelaskan apa arti ungkapan, “Ujian itu dapat memuliakan
seseorang atau malah dapat menghinakannya”. Ujian yang kami anggap sebagai awal
bencana kami dan itu pula yang menghantarkan kami naik kelas seluruhnya. Nanti
aku jelaskan mengapa.
Semester genap.
Kegiatan kami nampaknya tidak sedikitpun berkurang dari semester sebelumnya,
bahkan dengan adanya acara-acara OSIS ditambah kegiatan pembelajaran di luar
kampus menambah daftar kegiatan yang harus kami jalani. Tidak sinkron dengan
itu, bagi kami pelajaran tetap saja tidak berubah, tetap sulit dan hasilnya
tidak baik, bahkan cenderung memburuk disbanding semester lalu. Sangat
menjemukkan. Awan hitam itu kini datang lagi dari hasil UTS, walaupun tidak
semua dari kami menjalaninya, karena ada beberapa dari kami yang sedang
mengikuti persiapan olimpiade sains tingkat provinsi dan pelatiahan nasional,
namun hal itu tidak mengurangi sedikitpun hasil buruk itu. Kalau kau tahu kawan
bagaimana kondisimu saat itu, pastinya kau harus merasa beruntung sekarang
masih bisa membaca tulisan ini dengan status sempurna menyelesaikan studimu 3
tahun di madrasah, insyaAllah.
Sebelum aku
beri tahu bagaimana hasil UTS kita kala itu aku ingin menegaskan jika raport
semester genap di tahun kita itu benar-benar harus bersih dari nilai merah
dalam artian tidak ada satu pelajaran pun yang ada di bawah KKM, tidak akan ada lagi si
tuan baik hati yang akan memberikan perbaikan nilai di semester selanjutnya,
karena kan itu sudah masuk kelas 12, paling tidak itu yang dikatakan
kurikulum. Frame itulah yang mengendap dalam dada kami kala itu,
otomatis KKM menjadi harga mati yang harus kami capai di setiap ulangan yang
kami jalani. Tapi harga itu rasanya terlalu mahal untuk UTS, ia malah menjadi momok yang
menakut-nakuti kami dengan hasil yang rasanya membuat siapa saja yang
melihatnya memaksa menahan napas. Ia seperempat napas kami di raport dan kau
ingat setengah napasmu yang lain? Ia adalah nilai akumulasi ulangan harian. Kau
masih ingat berapa nilai Matematika yang aman dari jeratan remedial? Fisika? Ekonomi?
Untuk
menjelaskan nilai aku hanya akan bertanya. Bagaimana mungkin satu angkatan bisa
naik kelas semua apabila nilai UTS yang di bawah KKM ada 87 orang? 64
diantaranya memiliki 1-3 mapel di bawah kkm dan 23 sisanya lebih dari 3 mapel
di bawah KKM. Lalu selain 87 orang itu amankah nilainya? Tidak juga kawan,
hanya 10 orang yang bersih dan 18 lainnya sedang berjuang di OSP dan pelatnas.
Dan seperti itulah kondisi kami saat itu. Ditekan dari berbagai tuntutan, dari
acara-acara yang harus dilaksanakan, amanah kegiatan harian OSIS dan MPS yang
seringkali membuat jemu, sampai beberapa guru yang membuat kita menjadi orang
yang lebih sabar juga menjadi pengisi hari-hari kami. Tapi, kau tahu kawan di
sini ternyata titik baliknya. Ku temukan pemicu loncatan keberhasilan kami,
ternyata masalah kami tidak datang sendiri, ia datang bersama sahabat karibnya
yaitu obat dari masalah itu sendiri. Karena semakin gelap suasana malam adalah pertanda bahwa akan semakin dekat waktu
fajar. Akan kami gambarkan obat itu, kepingan kisah-kisah mereka.
Inilah kepingan
kisah-kisah mereka yang tidak banyak diketahui orang namun kelak menjadi faktor
penentu untuk mendapatkan tiket studi mereka di tahun berikutnya. Meskipun
hanya beberapa, tapi semoga bisa sedikit mewakili. Kalianlah yang sebenarnya
mengobarkan semangat untuk sadar bahwa keberhasilan itu dijemput bukan
ditunggu, bahwa kesabaran dan ketelatenan menjadi modal awal untuk menjemput
kemenangan, bahwa rasa perhatian kepada orang lain akan mendatangkan kebaikan
untuk semua orang, bahwa di setiap amarah dan keluh kesah terdapat ketenangan
yang membuat para pelakunya berpikir logis, bahwa di setiap keberhasilan kita
ada orang yang memilih untuk mengungkap cintanya kepada kita daripada bersedih
hati karena kegagalannya, ia adalah orang yang di saat keberhasilan menjadi
harapan, menjadi penggalan di setiap doa yang dipanjatkan, menjadi janji yang
ia tulis di dalam buku bindernya, ternyata keberhasilan itu tidak memilihnya,
tapi ia mampu menjadikannya ucapan selamat yang terdengar di telinga kita saat
itu, ialah sebaik-baik pencinta, ialah kamu yang sedang membaca tulisan ini,
sahabat yang selalu setia menjadi ‘orang yang menemani’, sangat sesuai dari
asal katamu. Karena tulisan ini sejatinya ditujukan untukmu, sahabatku.
Walaupun demikian aku ingatkan sekali lagi, bukan untuk
membangga-banggakan, tapi hanya sekedar refleksi atas nikmat yang Allah berikan
untuk diresapi dan diambil hikmah darinya. Karena bagiku kalian adalah nikmat
yang Allah anugerahkan kepadaku dan kepada siapa saja yang engkau beri manfaat.
Kisah ini
mungkin menjadi awal ujian kami. Sebuah prolog. Saat itu adalah masa yang
sangat tenang, hari-hari kami jalani dengan layaknya hari libur. Karena saat
itu kami baru menyelesaikan Ujian Akhir Semester genap kelas X. Walaupun hasil
ujian kemarin sangat menentukan raport kenaikan dan jurusan mana yang bisa kami
pilih nanti, rasanya ketenangan dan tawakal menjadi pilihan terakhir
kami. Tapi ada beberapa temanku yang ‘berbeda’ dari yang lain. Pagi hari ketika
kami berleha mengisi hari-hari yang membosankan dengan tidur-tiduran di asrama,
main ke lapangan, atau sekedar ngumpul-ngumpul, mereka malah memakai seragam
dan pergi ke sekolah, untuk apa? Mungkin mau perbaikan nilai, hal yang biasa untuk
kurikulum sekaliber IC. Akupun bersikap tak acuh.
Menjelang
dzuhur kebetulan sekali aku berpapasan dengan dia di depan ruang OSIS, karena
menangkap raut wajah yang tidak biasa, aku berusaha untuk menyapanya dengan
hangat,
“Assalamualaikum,
habis ngapain ?”, dia terdiam sejenak sambil memegangi kertas-kertas di
tangannya.
“Hmm.. habis
perbaikan nilai ya?”, aku mencoba membawa suasana, sontak diapun membalas.
“Tih, ane gak
naik kelas…”, WHAT! Ngomong apa dia barusan, gak ada angin gak ada hujan sahabatku
yang satu ini tiba-tiba ngomong gitu.
“Hah!
Maksudnya? Bukannya tadi habis perbaikan nilai?”
Dia tidak
menjawab, hanya memperlihatkan secarik kertas yang sedari tadi dibawanya.
Isinya berisi nilai-nilai evaluasi pembelajaran selama satu semester. Bedanya ia
sudah dicoret-coret dengan banyak tinta merah, tapi aku pun -yang hanya membaca
sekilas- masih tidak mengerti maksudnya.
“Ane remed 16
pelajaran Tih, ane masih pengen tetep di IC, tapi ane gak mungkin bertahan
karena udah separah ini, sorry Tih”
JDER!
Siang itu
mungkin menjadi hari terburuk yang pernah ane alami. Akhirnya kurikulum secara
tegas membenarkan pernyataan temanku beberapa hari setelahnya dan diapun
beserta dua temanku yang lain melanjutkan sekolahnya di tempat lain. Kisahnya
berakhir sampai sini. Dari sini dia mengajariku bagaimana rasanya kehilangan
dan bagaimana cara mengatasinya, paling tidak untuk kedepannya.
Serpong,
2014-2015
Saat itu tengah
dilaksanakannya Ujian Tengah Sementer, saat dimana belajar menjadi prioritas
utama. Setidaknya itu yang seharusnya terjadi, tapi nyatanya tidak. Banyak juga
yang memilih pasrah menyiapkan UTS seadanya. Karena sudah lelah dengan belajar-lah
atau sulitnya materi sampai-sampai ada juga yang memilih langsung tidur habis
isya sampe subuh, saking pasrahnya. Tapi mungkin suasana ini yang
menjadi kegelisahanmu saat itu, kawan. Engkau seorang yang lugu dan penyabar
tapi tetap memiliki keyakinan dan prinsip membaja. Malam hari engkau jadikan
waktu yang tepat untuk melaksanakan ‘aksimu’ dan asrama menjadi lokasi yang
tepat pikirmu saat itu. Engkau memakai baju putih abu-abu lengkap dengan dasi
yang dipasang rapi di antara pundakmu yang tegap, malam itu setelanmu sudah
sangat siap, bukan untuk sekolah pastinya. Kau berkeliling kamar-kamar untuk
sekedar mengingatkan untuk belajar dan tak lupa kau menyuapi kami dengan
amunisimu, ‘bubur’ instan yang ditambahi rasa pedas, dengan harapan kami tidak mengantuk ketika belajar,
masih dengan baju putih abu-abu. Hal itu mungkin sangat remeh dipandangmu
kawan, tapi besar bagi kami. Rasa bosan dan jemu ketika belajar seketika hilang
ketika engkau melakukannya, kocak dan menggelitik.
Di kesempatan
lain, kami masih ingat betul ketika kau berdiri di depan kamar dan mengintip di
sela-sela pintu sambil membawa pistol air, engkau menembaki kami jika ngantuk
ketika belajar, lucu sekali. Di saat belajar dan tuntutan mendapat nilai bagus membuat kebanyakan
teman mengurung diri di kamar, engkaulah teman yang memastikan mereka belajar
dengan caramu sendiri. Serta mendoakan mereka, harapanmu pun sama
dengan mereka, agar mereka juga mendapat nilai bagus. Dari sini kami belajar bahwa memberi perhatian
kepada orang lain akan mendatangkan kebahagiaan bagi orang tersebut.
Kawan, engkau mungkin
tak dilebihi dengan intelejensi yang hebat seperti Idris yang dianggap sebagai
Nabi yang meletakkan dasar ilmu sains, engkaupun tak diberi kecakapan dalam
berbicara layaknya Harun ketika menemani dakwah Nabi Musa, tapi engkau punya kelebihan dibalik kekurangan-kekuranganmu,
ia terletak di perbuatan dan kerja kerasmu. Inilah kisahmu.
Masih terekam
diingatanku ketika engkau masuk dalam daftar red list, tak lain karena namamu
masuk daftar paling atas teman-teman yang nilai raportnya di bawah KKM.
Memasuki semester genap ternyata keberuntungan belum berpihak padamu, engkau
masih dicoba dengan pelajaran ditambah kesibukan organisasi. Setelah UTS
alhamdulillah engkau sudah tidak lagi disibukkan dengan kepanitiaan yang selama
ini menyita waktumu. Engkau pemilik hati yang lembut mungkin saatnya dirimu untuk
berbenah, itu pikirmu saat itu. Tapi sayang waktumu tinggal sedikit,
remedial-remedial UH yang selama ini gagal kau jalani harus segera dituntaskan,
terutama biologi.
Aku masih ingat pekan itu, pekan di mana engkau jarang sekali terlihat
menghabiskan waktumu di lapangan ketika sore hari. Ternyata itu karena kau
mengejar guru-guru biologi untuk mendapat pelajaran tambahan dari mereka.
Setiap sore kau mendatangi mereka, paling tidak untuk menanyakan kira-kira hari
apa kau bisa mendapat pelajaran tambahan darinya. Berkali-kali yang lain
mengajakmu untuk yah hanya sekedar bermain atau mengerjakan sesuatu,
saat itu engkau pasti menolaknya dan memilih untuk menepati janji untuk menemui
guru di sore hari. Mungkin bosan, capek, dan lelah. Tapi kau gadaikan itu semua
dengan hasil yang memuaskan kawan, yaitu tiket naik kelas 12, kau telah
berhasil. Dari sini kami belajar bahwa keberhasilan itu tidak serta merta
ditunggu, tapi harus dijemput, walaupun dengan mengobankan kesenangan.
Engkau sangat
berbeda dengan yang lain, hatimu sangat lembut, dan perasaanmu mudah disentuh
orang lain bahkan kejadian kecil yang menimpa dirimu. Karena itu kau berbeda,
engkau memiliki yang orang lain tak punya, perasaan yang lebih, itu alasannya
kau mudah memahami orang lain, tapi juga mudah tersakiti orang lain.
Masih ingat
ketika Engkau dinyatakan lulus dan naik menjadi kelas 12? Batapa senangnya
dirimu saat itu kawan. Tapi kesenanganmu nampaknya agak terganjal dengan ‘perjanjian’
yang kurikulum berikan kepadamu. Bukan hanya soal waktu liburan yang habis
untuk belajar, les privat, dan mencari tanda tangan guru privat, tapi soal
perjanjian itu sendiri. Tidak berhenti saat liburan, ketika sudah menjadi kelas
12 pun kau masih dihantui perjanjian itu, tes perbaikan yang dijanjikan
kurikulum semakin tidak jelas kapan dilaksanakannya. Bagi teman-teman yang
tidak mendapat perjanjian itu mungkin tidak bisa sesabar Engkau. Bahkan apakah
kau ingat tentang tugas matematika yang tertukar itu? Ketika kau selesai
mengerjakan dengan segenap kemampuanmu dan ternyata paket soal tugasmu tertukar
dengan paket soal untuk jurusan yang lain? Pasti kesal rasanya. Mungkin rangkaian kegiatan itu
kau anggap hanya kegiatan yang melelahkan, membosankan, yang ujung-ujung nya
hanya menyisakan kekecewaan, tapi bagi kami hal itulah yang membuat kami lebih
menghargaimu. Engkau pengajar tanpa pena, mengajarkan kepada siapa saja yang
ingin mengambil pelajaran.
Ada juga Engkau
yang memiliki kepribadian luar biasa. Teman-teman yang menyertaimu sudah
layaknya keluarga bagimu. Engkaupun merasakan apa yang mereka rasakan,
sedangkan mereka tidak mengetahui. Ketika mereka jatuh di nilai-nilai sekolah,
mungkin itu adalah petaka luar biasa yang datang menimpa keluargamu, ujian
silih berganti menimpa keluargamu, mereka mungkin stres memikirkan kondisinya
saat itu. Tapi bagaimana dengan Engkau yang memiliki hati seluas samudera? Apa
yang sedang Engkau pikirkan saat itu? Sebenarnya aku juga tidak tahu, yang aku
tahu Engkaulah yang mendatangi mereka, menjadi tempat berbagi kesedihan dengan
mereka. Engkau bagaikan fatamorgana yang menjadi obat dahaga paling mujarab.
Engkau yang rela mengabdikan ragamu tidak hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga
untuk keluargamu. Kadang mungkin mereka anggap Engkau lebih pintar, jadi mudah
saja bagi Engkau untuk membantu menyelesaikan pelajaran untuk ulangan harian
esok hari, tapi yang aku tahu Engkau tidak belajar setelah mengajarkan mereka,
padahal kaupun ada ulangan esok harinya. Darimu kami belajar bagaimana luar
biasanya I’tsar dalam ukhuwah, sampai sejauh itu Engkau mementingkan
kebutuhan mereka jauh di atas kepentinganmu. Dari itu pula kami belajar
pemaknaan hadits “Tidak sempurna iman seorang muslim sampai ia mencintai
saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”
Wallahu
A’lam Bi Shawwab
“Cinta yang hakiki tidak terletak
pada keindahan secara jasmani
Namun terletak pada ketulusan dalam
mencintai itu sendiri”
(Seorang Sahabat)
Kita
bertemu karena Allah
Dari
seringnya bertemu dan tumbuh menjadi cinta
Cinta
kita membuat segalanya berarti
Kau
motivasiku
Kau
alasan ku di sini
Karena
kau pula ku enggan berhenti berusaha
Bukan
demi apapun, melainkan...
Hanya
untuk merengkahkan senyuman terindah dari bibirmu
Melahirkan
tatapan manja bak sedang menghadap bunda tercinta
Meneteskan
air mata perjuangan
Sebagai
tanda bukti ku menghargai perjuanganmu
Karena
ku mencintaimu karena Allah
Dan
kita berpisahpun karena Allah
0 komentar:
Posting Komentar