Think ● Solve ● Brave ● Go ● Fight ● Win

21 Mei 2016

Kenaikan Kelas 12 'Sekeping Kenangan'




Seperti kita semua
Setiap pejuang adalah anak zaman
Tetapi mereka menguak celah dinding sejarah
Tepat di saat mentari meninggi
Lalu peradaban menjadi lebih cerah
(Salim A. Fillah)

Setiap tahun memang mempunyai kisahnya masing-masing, adakalanya dimulai dengan masa yang sulit karena harus beradaptasi dengan lingkungan menjadi tuntutan, ada juga ketika masa depan menjadi cita-cita yang menerbitkan segala asa untuk mengerahkan segenap kemampuan. Tapi di dalam tulisan ini aku akan mencoba mengambil potongan tengah ingatan dari 3 tahun perjalanan remaja-remaja tanggung yang nggak sengaja disekolahkan oleh negara, di madrasah sekitar pasar, tapi harum namanya tercium hingga pelosok negeri ini.

Setiap angkatan pasti punya ujiannya masing-masing, termasuk kami, dan tak dapat dipungkiri kamipun diuji dengan satu hal yang mengusik kami setiap saat, yaitu masalah pelajaran. Pelajaran yang sulit dan tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik menjadi sebuah masalah tersendiri bagi kami yang belajar dengan bantuan subsidi dari pemerintah. Ditambah dengan padatnya kegiatan OSIS -yang kami emban saat itu- memecah fokus kami dalam belajar, apalagi bayang-bayang drop out karena masalah pelajaran menghantui kami.

Sebenarnya mudah saja untuk mengabaikan pelajaran, cukup dengan 4 nilai mapel yang tercantum di raport di bawah KKM (kriteria ketuntasan minimum) atau bahkan hanya dengan 1 nilai pelajaran pendidikan (seperti kewarganegaraan dan olahraga) di bawah KKM kami sudah bisa mengantongi tiket drop out. Memang kondisi kami saat itu terlunta-lunta menghadapi pelajaran, saat pengumuman UTS semester ganjil lebih dari setengah jumlah kami saat itu mendapati 3 atau lebih nilai pelajaran dibawah KKM,  12 orang diantaranya didapati nilai di bawah kkm sebanyak 5 pelajaran, bahkan ada yang mendapat 7 nilai pelajaran di bawah KKM. Tak ayal itu sangat berpengaruh pada hasil proses belajar kami di semester ganjil, sebanyak lusinan dari kami mendapat nilai di bawah KKM di raport semester. Bayangan akan keluar dari madrasah terpampang jelas di depan mata kala itu. Terngiang di ingatan tentang perjalanan satu semester sebelumnya di kelas 10.

Masih hangat ingatanmu tentang sahabat-sahabat di kelas 10 yang berjuang mati-matian menyelamatkan diri mereka sendiri. Hari-hari terakhir -setelah ujian semester selesai- mereka di madrasah dihabiskan dengan bolak-balik ke ruang guru mengharap sebuah keajaiban menyelamatkan mereka dari drop out. Pada akhirnya hanya sebagian dari mereka yang selamat dan sebagian lagi tidak. Sakit sekali rasanya bila diingat kembali masa itu, dimana status keberadaan mereka sangat kritis, tapi di sisi lain kita tidak bisa melakukan apa-apa. Walaupun demikian, satu pertolongan datang menghampiri.

Keberuntungan nampaknya masih berpihak kepada kami, atas izin Allah, lewat keputusan pihak kurikulum kami diberi kesempatan memperbaiki nilai raport semester ganjil yang dilaksanakan di semester dua nanti. Senang sih, tapi gondok juga ngeliat adek kelas 10 dengan mudahnya melewati semester ganjil seperti tanpa halangan, karena mereka menggunakan kurikulum 2013 yang kasarnya bisa dibilang dirancang untuk memastikan pemakainya lulus atau paling tidak ‘aman raportnya’. Namun hal itu pula yang mengukuhkan kami dengan sebutan ‘pembeda’, hal yang baru kami sadari pula menjelaskan apa arti ungkapan, “Ujian itu dapat memuliakan seseorang atau malah dapat menghinakannya”. Ujian yang kami anggap sebagai awal bencana kami dan itu pula yang menghantarkan kami naik kelas seluruhnya. Nanti aku jelaskan mengapa.
Semester genap. Kegiatan kami nampaknya tidak sedikitpun berkurang dari semester sebelumnya, bahkan dengan adanya acara-acara OSIS ditambah kegiatan pembelajaran di luar kampus menambah daftar kegiatan yang harus kami jalani. Tidak sinkron dengan itu, bagi kami pelajaran tetap saja tidak berubah, tetap sulit dan hasilnya tidak baik, bahkan cenderung memburuk disbanding semester lalu. Sangat menjemukkan. Awan hitam itu kini datang lagi dari hasil UTS, walaupun tidak semua dari kami menjalaninya, karena ada beberapa dari kami yang sedang mengikuti persiapan olimpiade sains tingkat provinsi dan pelatiahan nasional, namun hal itu tidak mengurangi sedikitpun hasil buruk itu. Kalau kau tahu kawan bagaimana kondisimu saat itu, pastinya kau harus merasa beruntung sekarang masih bisa membaca tulisan ini dengan status sempurna menyelesaikan studimu 3 tahun di madrasah, insyaAllah.

Sebelum aku beri tahu bagaimana hasil UTS kita kala itu aku ingin menegaskan jika raport semester genap di tahun kita itu benar-benar harus bersih dari nilai merah dalam artian tidak ada satu pelajaran pun yang ada di bawah KKM, tidak akan ada lagi si tuan baik hati yang akan memberikan perbaikan nilai di semester selanjutnya, karena kan itu sudah masuk kelas 12, paling tidak itu yang dikatakan kurikulum. Frame itulah yang mengendap dalam dada kami kala itu, otomatis KKM menjadi harga mati yang harus kami capai di setiap ulangan yang kami jalani. Tapi harga itu rasanya terlalu mahal untuk  UTS, ia malah menjadi momok yang menakut-nakuti kami dengan hasil yang rasanya membuat siapa saja yang melihatnya memaksa menahan napas. Ia seperempat napas kami di raport dan kau ingat setengah napasmu yang lain? Ia adalah nilai akumulasi ulangan harian. Kau masih ingat berapa nilai Matematika yang aman dari jeratan remedial? Fisika? Ekonomi?

Untuk menjelaskan nilai aku hanya akan bertanya. Bagaimana mungkin satu angkatan bisa naik kelas semua apabila nilai UTS yang di bawah KKM ada 87 orang? 64 diantaranya memiliki 1-3 mapel di bawah kkm dan 23 sisanya lebih dari 3 mapel di bawah KKM. Lalu selain 87 orang itu amankah nilainya? Tidak juga kawan, hanya 10 orang yang bersih dan 18 lainnya sedang berjuang di OSP dan pelatnas. Dan seperti itulah kondisi kami saat itu. Ditekan dari berbagai tuntutan, dari acara-acara yang harus dilaksanakan, amanah kegiatan harian OSIS dan MPS yang seringkali membuat jemu, sampai beberapa guru yang membuat kita menjadi orang yang lebih sabar juga menjadi pengisi hari-hari kami. Tapi, kau tahu kawan di sini ternyata titik baliknya. Ku temukan pemicu loncatan keberhasilan kami, ternyata masalah kami tidak datang sendiri, ia datang bersama sahabat karibnya yaitu obat dari masalah itu sendiri. Karena semakin gelap suasana malam  adalah pertanda bahwa akan semakin dekat waktu fajar. Akan kami gambarkan obat itu, kepingan kisah-kisah mereka.

Inilah kepingan kisah-kisah mereka yang tidak banyak diketahui orang namun kelak menjadi faktor penentu untuk mendapatkan tiket studi mereka di tahun berikutnya. Meskipun hanya beberapa, tapi semoga bisa sedikit mewakili. Kalianlah yang sebenarnya mengobarkan semangat untuk sadar bahwa keberhasilan itu dijemput bukan ditunggu, bahwa kesabaran dan ketelatenan menjadi modal awal untuk menjemput kemenangan, bahwa rasa perhatian kepada orang lain akan mendatangkan kebaikan untuk semua orang, bahwa di setiap amarah dan keluh kesah terdapat ketenangan yang membuat para pelakunya berpikir logis, bahwa di setiap keberhasilan kita ada orang yang memilih untuk mengungkap cintanya kepada kita daripada bersedih hati karena kegagalannya, ia adalah orang yang di saat keberhasilan menjadi harapan, menjadi penggalan di setiap doa yang dipanjatkan, menjadi janji yang ia tulis di dalam buku bindernya, ternyata keberhasilan itu tidak memilihnya, tapi ia mampu menjadikannya ucapan selamat yang terdengar di telinga kita saat itu, ialah sebaik-baik pencinta, ialah kamu yang sedang membaca tulisan ini, sahabat yang selalu setia menjadi ‘orang yang menemani’, sangat sesuai dari asal katamu. Karena tulisan ini sejatinya ditujukan untukmu, sahabatku.
Walaupun demikian aku ingatkan sekali lagi, bukan untuk membangga-banggakan, tapi hanya sekedar refleksi atas nikmat yang Allah berikan untuk diresapi dan diambil hikmah darinya. Karena bagiku kalian adalah nikmat yang Allah anugerahkan kepadaku dan kepada siapa saja yang engkau beri manfaat.

Kisah ini mungkin menjadi awal ujian kami. Sebuah prolog. Saat itu adalah masa yang sangat tenang, hari-hari kami jalani dengan layaknya hari libur. Karena saat itu kami baru menyelesaikan Ujian Akhir Semester genap kelas X. Walaupun hasil ujian kemarin sangat menentukan raport kenaikan dan jurusan mana yang bisa kami pilih nanti, rasanya ketenangan dan tawakal menjadi pilihan terakhir kami. Tapi ada beberapa temanku yang ‘berbeda’ dari yang lain. Pagi hari ketika kami berleha mengisi hari-hari yang membosankan dengan tidur-tiduran di asrama, main ke lapangan, atau sekedar ngumpul-ngumpul, mereka malah memakai seragam dan pergi ke sekolah, untuk apa? Mungkin mau perbaikan nilai, hal yang biasa untuk kurikulum sekaliber IC. Akupun bersikap tak acuh.
Menjelang dzuhur kebetulan sekali aku berpapasan dengan dia di depan ruang OSIS, karena menangkap raut wajah yang tidak biasa, aku berusaha untuk menyapanya dengan hangat,
“Assalamualaikum, habis ngapain ?”, dia terdiam sejenak sambil memegangi kertas-kertas di tangannya.
“Hmm.. habis perbaikan nilai ya?”, aku mencoba membawa suasana, sontak diapun membalas.
“Tih, ane gak naik kelas…”, WHAT! Ngomong apa dia barusan, gak ada angin gak ada hujan sahabatku yang satu ini tiba-tiba ngomong gitu.
“Hah! Maksudnya? Bukannya tadi habis perbaikan nilai?”
Dia tidak menjawab, hanya memperlihatkan secarik kertas yang sedari tadi dibawanya. Isinya berisi nilai-nilai evaluasi pembelajaran selama satu semester. Bedanya ia sudah dicoret-coret dengan banyak tinta merah, tapi aku pun -yang hanya membaca sekilas- masih tidak mengerti maksudnya.
“Ane remed 16 pelajaran Tih, ane masih pengen tetep di IC, tapi ane gak mungkin bertahan karena udah separah ini, sorry Tih”
JDER!
Siang itu mungkin menjadi hari terburuk yang pernah ane alami. Akhirnya kurikulum secara tegas membenarkan pernyataan temanku beberapa hari setelahnya dan diapun beserta dua temanku yang lain melanjutkan sekolahnya di tempat lain. Kisahnya berakhir sampai sini. Dari sini dia mengajariku bagaimana rasanya kehilangan dan bagaimana cara mengatasinya, paling tidak untuk kedepannya.

Serpong, 2014-2015

Saat itu tengah dilaksanakannya Ujian Tengah Sementer, saat dimana belajar menjadi prioritas utama. Setidaknya itu yang seharusnya terjadi, tapi nyatanya tidak. Banyak juga yang memilih pasrah menyiapkan UTS seadanya. Karena sudah lelah dengan belajar-lah atau sulitnya materi sampai-sampai ada juga yang memilih langsung tidur habis isya sampe subuh, saking pasrahnya. Tapi mungkin suasana ini yang menjadi kegelisahanmu saat itu, kawan. Engkau seorang yang lugu dan penyabar tapi tetap memiliki keyakinan dan prinsip membaja. Malam hari engkau jadikan waktu yang tepat untuk melaksanakan ‘aksimu’ dan asrama menjadi lokasi yang tepat pikirmu saat itu. Engkau memakai baju putih abu-abu lengkap dengan dasi yang dipasang rapi di antara pundakmu yang tegap, malam itu setelanmu sudah sangat siap, bukan untuk sekolah pastinya. Kau berkeliling kamar-kamar untuk sekedar mengingatkan untuk belajar dan tak lupa kau menyuapi kami dengan amunisimu, ‘bubur’ instan yang ditambahi rasa pedas, dengan harapan kami tidak mengantuk ketika belajar, masih dengan baju putih abu-abu. Hal itu mungkin sangat remeh dipandangmu kawan, tapi besar bagi kami. Rasa bosan dan jemu ketika belajar seketika hilang ketika engkau melakukannya, kocak dan menggelitik.

Di kesempatan lain, kami masih ingat betul ketika kau berdiri di depan kamar dan mengintip di sela-sela pintu sambil membawa pistol air, engkau menembaki kami jika ngantuk ketika belajar, lucu sekali. Di saat belajar dan tuntutan mendapat nilai bagus membuat kebanyakan teman mengurung diri di kamar, engkaulah teman yang memastikan mereka belajar dengan caramu sendiri. Serta mendoakan mereka, harapanmu pun sama dengan mereka, agar mereka juga mendapat nilai bagus. Dari sini kami belajar bahwa memberi perhatian kepada orang lain akan mendatangkan kebahagiaan bagi orang tersebut.

Kawan, engkau mungkin tak dilebihi dengan intelejensi yang hebat seperti Idris yang dianggap sebagai Nabi yang meletakkan dasar ilmu sains, engkaupun tak diberi kecakapan dalam berbicara layaknya Harun ketika menemani dakwah Nabi Musa, tapi engkau  punya kelebihan dibalik kekurangan-kekuranganmu, ia terletak di perbuatan dan kerja kerasmu. Inilah kisahmu.

Masih terekam diingatanku ketika engkau masuk dalam daftar red list, tak lain karena namamu masuk daftar paling atas teman-teman yang nilai raportnya di bawah KKM. Memasuki semester genap ternyata keberuntungan belum berpihak padamu, engkau masih dicoba dengan pelajaran ditambah kesibukan organisasi. Setelah UTS alhamdulillah engkau sudah tidak lagi disibukkan dengan kepanitiaan yang selama ini menyita waktumu. Engkau pemilik hati yang lembut mungkin saatnya dirimu untuk berbenah, itu pikirmu saat itu. Tapi sayang waktumu tinggal sedikit, remedial-remedial UH yang selama ini gagal kau jalani harus segera dituntaskan, terutama biologi. Aku masih ingat pekan itu, pekan di mana engkau jarang sekali terlihat menghabiskan waktumu di lapangan ketika sore hari. Ternyata itu karena kau mengejar guru-guru biologi untuk mendapat pelajaran tambahan dari mereka. Setiap sore kau mendatangi mereka, paling tidak untuk menanyakan kira-kira hari apa kau bisa mendapat pelajaran tambahan darinya. Berkali-kali yang lain mengajakmu untuk yah hanya sekedar bermain atau mengerjakan sesuatu, saat itu engkau pasti menolaknya dan memilih untuk menepati janji untuk menemui guru di sore hari. Mungkin bosan, capek, dan lelah. Tapi kau gadaikan itu semua dengan hasil yang memuaskan kawan, yaitu tiket naik kelas 12, kau telah berhasil. Dari sini kami belajar bahwa keberhasilan itu tidak serta merta ditunggu, tapi harus dijemput, walaupun dengan mengobankan kesenangan.

Engkau sangat berbeda dengan yang lain, hatimu sangat lembut, dan perasaanmu mudah disentuh orang lain bahkan kejadian kecil yang menimpa dirimu. Karena itu kau berbeda, engkau memiliki yang orang lain tak punya, perasaan yang lebih, itu alasannya kau mudah memahami orang lain, tapi juga mudah tersakiti orang lain.

Masih ingat ketika Engkau dinyatakan lulus dan naik menjadi kelas 12? Batapa senangnya dirimu saat itu kawan. Tapi kesenanganmu nampaknya agak terganjal dengan ‘perjanjian’ yang kurikulum berikan kepadamu. Bukan hanya soal waktu liburan yang habis untuk belajar, les privat, dan mencari tanda tangan guru privat, tapi soal perjanjian itu sendiri. Tidak berhenti saat liburan, ketika sudah menjadi kelas 12 pun kau masih dihantui perjanjian itu, tes perbaikan yang dijanjikan kurikulum semakin tidak jelas kapan dilaksanakannya. Bagi teman-teman yang tidak mendapat perjanjian itu mungkin tidak bisa sesabar Engkau. Bahkan apakah kau ingat tentang tugas matematika yang tertukar itu? Ketika kau selesai mengerjakan dengan segenap kemampuanmu dan ternyata paket soal tugasmu tertukar dengan paket soal untuk jurusan yang lain? Pasti kesal rasanya. Mungkin rangkaian kegiatan itu kau anggap hanya kegiatan yang melelahkan, membosankan, yang ujung-ujung nya hanya menyisakan kekecewaan, tapi bagi kami hal itulah yang membuat kami lebih menghargaimu. Engkau pengajar tanpa pena, mengajarkan kepada siapa saja yang ingin mengambil pelajaran.

Ada juga Engkau yang memiliki kepribadian luar biasa. Teman-teman yang menyertaimu sudah layaknya keluarga bagimu. Engkaupun merasakan apa yang mereka rasakan, sedangkan mereka tidak mengetahui. Ketika mereka jatuh di nilai-nilai sekolah, mungkin itu adalah petaka luar biasa yang datang menimpa keluargamu, ujian silih berganti menimpa keluargamu, mereka mungkin stres memikirkan kondisinya saat itu. Tapi bagaimana dengan Engkau yang memiliki hati seluas samudera? Apa yang sedang Engkau pikirkan saat itu? Sebenarnya aku juga tidak tahu, yang aku tahu Engkaulah yang mendatangi mereka, menjadi tempat berbagi kesedihan dengan mereka. Engkau bagaikan fatamorgana yang menjadi obat dahaga paling mujarab. Engkau yang rela mengabdikan ragamu tidak hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk keluargamu. Kadang mungkin mereka anggap Engkau lebih pintar, jadi mudah saja bagi Engkau untuk membantu menyelesaikan pelajaran untuk ulangan harian esok hari, tapi yang aku tahu Engkau tidak belajar setelah mengajarkan mereka, padahal kaupun ada ulangan esok harinya. Darimu kami belajar bagaimana luar biasanya I’tsar dalam ukhuwah, sampai sejauh itu Engkau mementingkan kebutuhan mereka jauh di atas kepentinganmu. Dari itu pula kami belajar pemaknaan hadits “Tidak sempurna iman seorang muslim sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”

Wallahu A’lam Bi Shawwab


“Cinta yang hakiki tidak terletak pada keindahan secara jasmani
Namun terletak pada ketulusan dalam mencintai itu sendiri”
(Seorang Sahabat)



Kita bertemu karena Allah
Dari seringnya bertemu dan tumbuh menjadi cinta
Cinta kita membuat segalanya berarti
Kau motivasiku
Kau alasan ku di sini
Karena kau pula ku enggan berhenti berusaha
Bukan demi apapun, melainkan...
Hanya untuk merengkahkan senyuman terindah dari bibirmu
Melahirkan tatapan manja bak sedang menghadap bunda tercinta
Meneteskan air mata perjuangan
Sebagai tanda bukti ku menghargai perjuanganmu
Karena ku mencintaimu karena Allah
Dan kita berpisahpun karena Allah



0 komentar:

Posting Komentar