Think ● Solve ● Brave ● Go ● Fight ● Win

24 Mei 2016

Scholastic 2016

                

27 Februari 2016
                Aku buru-buru mengenakan pakaian lengkap saat temanku memberi tahu bahwa namaku dipanggil dengan speaker asrama. Ini masih pukul enam pagi dan apa yang mereka inginkan, sih?
                “Waaa! Ayo buruan disuruh ke Gedung G!”
                “Iya bentar, Je! Gua turun nih...” jawabnya tak kalah lantang.
Kami membuat keributan pagi ini. Sebenarnya tidak sih, sebelumnya teman-teman satu asrama sudah dengan heboh memanggil-manggil namaku dan Najwa. Bagaimana tidak, yang menyuruhku keluar di pagi buta seperti ini adalah Fathi dan Fathul. Tak perlu ditanyakan alasannya. Ah, itu sudah masa lalu.
Aku dan Najwa yang masih dengan tampang bangun tidur akhirnya terpaksa keluar. Dan kalian tahu? Tidak ada siapa pun di depan Gedung G. Kami sadar kalau persiapan kami cukup lama. Tapi bukaknkah itu wajar? Kami kan, perempuan. Belum lagi, aku butuh kepastian dari banyak orang saat akan memutuskan aku akan keluar atau tidak. Harusnya mereka memaklumi itu!
Aku dan Najwa hanya bisa merutuki nasib sial ini. Sampai salah satu teman laki-laki kami keluar dari peradaban mereka, dan memberi tahu bahwa kami harus mencarikan dua buah topeng Vendetta. Aaarggh! Kenapa pagi ini aku begitu sial?
***
20 Februari 2016
“Je, ini rundown acaranya. Ada beberapa urutan yang berubah tapi belum sempet gua ubah. Ini, nih...” Wardah menjelaskan padaku segala yang berkaitan dengan jalannya acara. Aku hanya mengangguk mengerti.
Jujur, saat ini aku masih belum bisa percaya bahwa aku dipilih menjadi pembawa acara. Bukannya aku belum pernah, tapi waktu itu aku kan hanya menjadi MC LPJ yang teksnya sudah dibuatkan dan tugasku hanya membacanya. Lagi pula, waktu itu acaranya formal dan aku tak butuh banyak berimprofisasi – meski di acara itu pun aku tetap memalukan.
Tapi ini kan pentas seni! Walaupun ini adalah ujian praktik dari empat mata seni yang kami pelajari, tetap saja aku tak bisa bersikap kaku-formal seperti saat LPJ, kan? Aku tahu aku berebihan, karena secara teori, yang hadir nanti mayoritas adalah adik kelasku – di depan mereka, urat maluku sudah putus. Tapi tetap saja, namanya juga Zaynab. Berlebihan adalah salah satu karakterku – yang entah mengapa sangat sulit dihilangkan.
Aku sedang menekuri rundown yang tadi diberikan Wardah. Ia sendiri sudah sibuk dengan teman satu timnya yang memang bertugas mengatur acara agar berjalan lancar dan menarik. Saat ini kami – yang bertugas mengisi acara – sedang berada di Gedung Serba Guna untuk latihan berdasarkan kelompok-kelompok yang telah ditentukan. Rekan pembawa acaraku sendiri belum datang. Entahlah,  mungkin ia terlalu khusyuk membaca Al Quran di masjid.
Aku berusaha untuk tidak panik, mengingat kami sama sekali belum pernah bertemu untuk membahas tentang ini, sedangkan acara akan diadakan pekan depan. Aku tahu kalau dia – rekanku, lebih berpengalaman karena dia pernah menjadi pembawa acara di acara eksternal sekolah. Tapi harusnya dia bisa memahamiku, yang tak pernah melakukan hal ini sebelumnya! Ah, memang tak pantas mengharapkan kepekaan dari seorang laki-laki.
Untung aku tak butuh waktu yang sangat lama untuk menunggunya. Ia dengan santainya menghampiriku – itu pun setelah diarahkan oleh anak acara, dan tak terlihat merasa bersalah telah datang terlambat.
“Pik, lo udah dapet rundown belum?” aku memulai percakapan.
“Ha? Belum.” Jawabnya.
“Ghiyats belum ngasih?”
“Belum.”
Oh, baiklah. Aku – yang memang bertempramen cukup tinggi, mulanya ingin protes ke seseorang yang bernama Ghiyats itu. Tapi berhubung aku juga baru saja mendapatkan rundown, aku tidak jadi melakukannya. Lagipula, anak acara sudah terlalu sibuk untuk mengurusi kami.
Wardah yang melihat Taufik berdiri tak jauh dariku akhirnya menghampiri kami. Ia menjelaskan dengan detail kepada Taufik sebagaimana ia menjelaskannya padaku tadi. Aku hanya memberinya tatapan semangat, karena ia harus mengulangi hal yang sama dua kali.
Karena kelompok-kelompok lain sudah mulai berlatih, mau tidak mau aku juga harus menyesuaikan, bukan? Karena kami hanya berdua, Wardah akhirnya menyanggupi untuk menemani. Tapi tetap saja, ia memiliki kewajiban lain untuk berlatih bersama tim nasyidnya. Untuk mempermudah mobilisasi Wardah, akhirnya kami menyeret kursi ke dekat tim nasyid yang sedang berlatih.
Aku tidak mengenal dengan baik partnerku ini. Yang aku tahu, ia adalah orang alim yang sangat menjaga interaksi dengan perempuan – tahu kan, ghodul bashor dan sebagainya. Itu sih terserah dia. Yang aku harapkan saat ini adalah ia mengajariku bagaimana jadi pembawa acara semi-formal seperti yang pernah ia lakukan.
“Pik, lo kan udah pernah tuh jadi MC Sonlis. Kira-kira, kalimat pembukaannya gimana, ya?” tanyaku membuka percakapan.
“Dulu yang buatin teks semua si Sarah. Gua tinggal ngapalin.”
“Ooh...” aku mengangguk tak sadar. Tunggu, apa dia bilang? Apa itu artinya aku juga berkewajiban membuatnya?
“Pas masuk pertama kali kan standar tuh. Jalan bareng sambil salam...”
“Trus setelahnya? Gua tuh pengen kaya Sonlis gitu loh, Pik. Pembukaan yang saling berbalas gitu. Misalnya, gua bilang, ‘Welcome to the biggest’, trus lo bilang, ‘the bla bla bla’, nanti gua bilang lagi, ‘the apa...’ gitu misalnya...” ocehku sambil berkhayal.
“Yaya...gua ngerti. Dulu gua kaya gitu, tapi lagi-lagi yang buat semuanya tuh Sarah, Je.”
Aku hanya bisa mendesah. Nampaknya terlalu muluk kalau aku mengharapkan dia untuk membuatnya.
“Yaudah, kita bagi tugas. Gua buat pembukaan, trus lo buat penutupan. Gimana?”
“Oke.”
Bisa dibayangkan yang terjadi setelah itu? Kami bekerja dalam diam. Sesekali Wardah menghampiri dan bertanya apa yang sedang kami diskusikan. Tentu aku yang menjawab. Berkali-kali aku menghampiri Sarah dan bertanya apa yang harus kulakukan. Dia hanya memberiku semangat karena partnerku adalah Taufik. Aku sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri kenapa aku meributkan hal yang sepele seperti ini. Kenapa sih, aku dilahirkan sebagai orang ribet?
Di sela-sela kesibukkanku –yang sepertinya berlebihan untuk dikatakan sibuk, aku memerhatikan kelompok-kelompok kecil lain yang berlatih dengan sungguh-sungguh. Aku tak meragukan mereka untuk tampil hebat di acara kami pekan depan. Pasalnya, mereka sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Tidak sepertiku yang baru akan memulainya sekarang.
Mulanya aku ingin protes, apakah menjadi MC sebegitu mudahnya sehingga aku tidak perlu dilatih? Tapi aku berusaha memahami. Aku tidak boleh semanja itu untuk diladeni layaknya bocah kecil. Teman-teman sangat sibuk dengan urusannya masing-masing, maka aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri dan berusaha tampil tidak memalukan ketika acara nanti.

21 Februari 2016
“Meeh, bangun! Ayo katanya ada latihan flashmob.” kataku mengingatkan.
Muthi juga masih terlelap di pembaringannya. Kalau bukan karena Ummah sebagai instruktur flashmob, aku sudah sedari tadi meninggalkan mereka berdua. Butuh tiga sampai lima kali lagi aku mengoceh ala ibu kos sampai mereka benar-benar terjaga dan beranjak dari atas kasur.
Beberapa pekan terakhir, kami memang menjadwalkan Minggu pagi setelah kerja bakti dan sarapan untuk latihan flashmob. Dalam flashmob kali ini, kami akan menari bersama diiringi lagu Korea – karena instruktur kami adalah K-Popers. Rencananya, flashmob akan dijadikan sebagai penutup acara kami Sabtu yang akan datang.
Sudah pasti tidak mudah melatih pemuda-pemudi kaku yang kerjaannya hanya belajar seperti kami untuk bisa kompak dalam melakukan gerakan flashmob. Meski katanya, gerakan yang dipilihkan sudah tergolong mudah, tetap saja. Banyak di antara kami yang masih mengeluh soal gerakan ini. Tempo yang cepat juga menjadi salah satu kendala. Belum lagi, banyak yang ‘sok’ sibuk dan tidak datang saat latihan. Ah, manusia memang tak sempurna.
“Eh, menurut kalian, itu gerakannya susah ngga sih?” tanya Ummah padaku dan Muthi di sebuah kesempatan.
“Emm,, sebenernya engga sih, Meh. Cuman, pas udah dikasih lagu dan ternyata temponya cepet, kita jadi kaget trus kagok.” jawabku.
“Tapi beneran deh, kita udah milihin gerakan-gerakan yang enak dan udah gampang banget!”
“Iya, iya... Mungkin butuh latihan lebih banyak lagi kali, Meh.” Kata Muthi mengakhiri pembicaraan.



27 Februari 2016
Aku dan Najwa segera kembali ke asrama untuk mencari topeng yang diminta. Kabar baiknya, kami tak harus berkeliling asrama untuk mendapatkan topeng-topeng tersebut. Ternyata tak sepenuhnya pagi ini menyebalkan, batinku sambil tersenyum.
“Eh, itu topengnya kasih ke Zidna!” kata Fathul dari teras Gedung F. Zidna yang sedang membawa boks-boks karya menghampiriku untuk mengambil topeng yang sedang kupegang.
“Makasih...” katanya.
“Yap! Sama-sama.” jawabku kelewat riang. Saat aku hendak berbalik, aku melihat rekan MC-ku berjalan dari arah poliklinik menuju asrama. Ia mempercepat jalannya dan aku pun mengerti bahwa ia akan mengatakan sesuatu padaku.
“Je!” panggilnya. Benar, kan?
“Ya?” jawabku berusaha untuk tenang. Pasalnya aku sangat gugup karena hari itu aku harus tampil sebaik mungkin.
“Kita jam tujuh kurang lima belas aja ya udah di GSG.” Ia terlihat begitu tenang.
“Oke.” Jam berapa sekarang? Aku reflek melirik pergelangan tangan. Dan yang kulihat hanyalah sebentuk gelang karet hitam bertuliskan “KEEP CALM AND BE A DOCTOR” bututku yang tak pernah kulepas entah sejak kapan. Seharusnya aku tidak melakukan reflek aneh itu mengingat aku tak biasa mengenakan jam tangan.
Aku membalikkan badan dan segera saja melesat memasuki asrama. Aku harus siap dalam setengah jam.

26 Februari 2016
Aku sudah selesai melakukan ujian praktik pada mata pelajaran Al Quran dan Hadits. Seharusnya aku masih ada ujian olah raga, tapi aku sama sekali tak mengingatnya. Aku bergegas menuju laboratorium siswa tempat kami boleh menggunakan komputer dengan bebas. Dengan amatir, aku membuat kertas MC – berupa kertas berlogo yang biasa dibawa para pembawa acara, seadanya – sebisaku.
Setelah ku-convert ke tipe .pdf dan kusalin ke dalam flashdisk-ku, aku langsung menuju Kopinma untuk mencetaknya. Sial memang nasibku karena file tersebut tak bisa dibuka. Berhubung laboratorium tadi sedang digunakan oleh guruku, akhirnya aku menumpang pada temanku yang membawa laptop untuk membuatnya ulang.
Aku sedang melangkah tergesa di samping gedung administrasi saat tak sengaja aku melihat sekumpulan siswa kelas dua belas menenakan pakaian olah raga. Apa ada sesuatu yang terlupakan?
“Eh, siapa tuh? Jenab bukan?” seru salah seorang di antara mereka. Sontak aku menoleh dan menyadari bahwa aku lupa sekarang waktunya ujian praktik.
“Wah, Bu Jen kacau nih, belum siap-siap!” Entah siapa lagi itu yang menyahut. Aku tak berani menoleh lagi. Mengapa aku bisa seceroboh ini?
27 Februari 2016
“Jeeenaaab!!!” suara Wardah kian mengeras karena sekarang ia sudah berdiri di dekatku dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku kembali berkonsentrasi dengan barang-barang yang akan kubawa. Pulpen, notes, kertas rundown, kertas MC, handsanitizer, tisu, pelembab...
“Perlu pake make up ngga, Je?” tanyanya, “eh, make up saman mana ya?” lanjutnya tanpa menunggu jawabanku.
“Udah, Jenab ngga usah diapa-apain lagi. Pake bedak aja, Je biar nggak pucat.” Sahut Muthi dari dalam kamar.
“Yap! Ngga usah deh, gua ngga betah, War.” Kataku dan Wardah hanya mengangguk setuju. 
“Zaii! Mau pake BB Cream nggak? Biar tahan lama.” Tanya Ummah menawarkan.
“Boleh, deh.”
Aku menyambar sebuah tube kecil yang ada di meja Ummah dan kini berdiri di depan kaca. Sekarang sudah pukul 06.40. Itu artinya waktuku tinggal lima menit lagi. Aku segera merapikan barang-barangku dan memasukkan wedges ke sebuah tas jinjing kecil. Aku sudah pasti takkan berani mengenakan sepatu ini dari asrama ke Gedung Serba Guna. Kemungkinanku jatuh saat berjalan di atas pavin block lebih besar dibanding dengan di atas ubin, kan?
Sekali lagi aku menatap cermin dan merasa aneh. Sepertinya ini kali pertamaku mengenakan kerudung bermotif.

26 Februari 2016
Siang ini semua orang terlihat sangat sibuk. Ada yang bolak-balik seperti setrika dari asrama ke Gedung Serba Guna, ada yang mendedikasikan diri tinggal di living room untuk membuat dekorasi yang belum selesai, lebih banyak lagi yang sibuk di Gedung Serba Guna dan menghias ruangan besar itu sedemikian rupa.
Tetesan cat di mana-mana. Teriakkan teman yang mencari tiner juga bersahutan. Sekumpulan perempuan yang memilin benang dengan balon juga terlihat mengasyikkan. Belum lagi abang-abang sound system yang ‘cak-cek’ sana-sini. Cowok-cowok bernyali besar bahu-membahu membuat sepetak dark room. Ada banyak pula yang berkumpul di depan panggung untuk menempelkan bulatan-bulatan berwarna merah, pink, dan hijau.
Aku sadar. Ini lah kesempatan terakhir kami untuk melakukan kesibukan seperti ini, bersama-sama. Tahun lalu, kami bahkan jenuh melakukan ini semua. Tapi sekarang, bolehkah aku meminta agar waktu untuk bergulir dengan perlahan?

27 Februari 2016
Aku berjalan menggunakan sandal karetku sambil menjinjing gaun kepanjangan yang sedang kukenakan. Untung saja adik kelas sudah selesai apel pagi dan sedang berkumpul di masjid. Jadi aku tidak menjadi pusat perhatian – meski aku tak yakin akan.
Aku sudah sampai di Gedung Serba Guna dan aku yakin jam sudah menunjukkan pukul 06.45 lebih. Tada! Tak ada sosok Taufik di sepenjuru ruangan. Apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku tak ingin mengulang teks MC-ku sendirian. Cukup sekali lagi aku mengulangnya dan harus bersama dengan si rekan. Tapi sekali lagi, ia tak terlihat di mana pun. Saat aku bertanya ke salah satu teman laki-lakiku, ia mengatakan kalau Taufik sedang bersiap-siap. Huh, bahkan aku yang perempuan saja bisa lebih cepat! Dia tak mungkin merias wajahnya dulu, kan?
Melihat temanku yang dengan rajin menyapu tangga di depan pintu masuk, aku pun membantunya sebisaku. Yah, hitung-hitung menambah pahala meski badanku takkan sesagar sebelumnya. Tapi tenang, aku tidak bau kok!
“Sori-sori, gua baru dateng!”
Aku hanya memberinya tatapan ‘tak-tahu-kah-kau-berapa-lama-aku-menunggu?’ yang aku yakin tak mungkin ia tangkap maknanya. Aku permisi sebentar untuk mengganti sandalku menjadi sandal lain dengan selop tujuh senti. Padahal, sama-sama sandal, yah.
“Yaudah, yuk langsung latihan aja. Di mana ya kira-kira?”
Aku mulanya mengusulkan untuk latihan di depan GSG, tapi nampaknya suasana sudah mulai ramai dan tidak memungkinkan untuk latihan. Sepertinya Taufik sependapat denganku dan akhirnya kami memutuskan untuk latihan di belakang gedung saja. Untung ada Pak Kris yang sedang mencuci motor, jadi aku tak perlu khawatir berduaan dengan orang ini.
Saat itu lah, kepercayaan diri yang sudah kubangun selama seminggu seakan retak tiba-tiba. Tanganku berkeringat dingin dan teks-teks yang telah kuhafal seakan menguap dari kepalaku. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan. Ini cukup membantu, meski tetap saja kegelisahan itu terngiang di benakku.

26 Februari 2016
Malam ini tentu saja diadakan gladi bersih sebagai bentuk ikhtiar terakhir kami sebelum hari esok. Malam ini, semua orang bekerja keras. Seksi konsumsi sudah siap menyeduhkan berbagai minuman hangat, semua band yang akan tampil juga sudah siap bila dipanggil namanya. Narator sudah mantap dengan teksnya, seksi dekorasi bahu-membahu melengkapi apa yang kurang. Sekali lagi, pemandangan ini entah kapan dapat terulang kembali.
Aku duduk di tempat duduk penonton dan menerka-nerka improfisasi apa yang bisa kulakukan apabila terjadi sesuatu yang tak terduga, juga mengumpulkan apa-apa yang dapat kudiskusikan dengan Taufik malam ini. Aku teringat sesuatu. Kertas MC! Ah, ya. Aku harus memberikannya kepada Taufik sekarang. Aku pun menyapukan pandanganku ke seluruh ruangan. Taufik sedang membantu menempelkan foto di Pojok Fotografi saat aku memanggilnya.
“Nih!” kataku sambil menyerahkan kertas itu. “Gua buat sendiri, loh...” pamerku.
“Apaan nih?” tatapnya heran, lalu mulutnya membentu huruf ‘O’. “Kok kecil banget?”
Deg. Iya kah? Apa aku salah ukuran?
“Ah terserahlah. Adanya itu. Ngga mungkin kan kita ganti? Ngga ada waktu.” Ujarku sengit.
“Iya, iya... daripada nggak ada sama sekali.” Katanya mengalah. Nah, gitu dong dari tadi...
Pukul 23.00 dan aku belum beranjak dari GSG. Sebenarnya sudah tak ada lagi yang harus kulakukan di sini. Awalnya aku berniat untuk tidur cepat agar besok tak ada kantung mata yang terukir di sekeliling mataku. Tapi entah mengapa melihat teman-teman yang berlatih di atas panggung membuatku enggan meninggalkan ruangan ini. Guru asramaku juga sudah berkali-kali mengimbau para akhwat agar segera kembali ke asrama. Tanggung.
***
27 Februari 2016
Para dancer sudah siap di posisi mereka masing-masing. Segera saja musik dinyalakan dan mereka beraksi menarik penonton untuk mendekat. Ini pertanda bahwa tak lama lagi giliranku untuk tampil. Aku menegaskan pada diriku bahwa tak ada lagi waktu untuk mempertanyakan apakah aku bisa memberikan yang terbaik. Yang harus kulakukan adalah berusaha semaksimal mungkin.
Video teaser sudah hampir selesai ditayangkan. Kugenggam erat mic di tanganku. Kumantapkan pijakan kakiku. Kutarik sudut-sudut bibirku sejauh mungkin. Ini lah, saatnya keraguan itu kukubur dalam-dalam.
***
Meski dentuman musik sering membuatku tak nyaman karena jantungku seakan mau copot, namun kali ini aku berharap agar ia tak pernah berhenti.
Aku memang tak memiliki suara emas, namun aku tetap bangga karena teman-temanku memilikinya.
Aku tak bisa membuat pop up wajah BJ Habibie ataupun desain kalender yang keren, tapi aku punya sahabat yang bisa diandalkan.
Tanganku tak seberharga Leonardo Da Vinci namun aku memiliki tangan-tangan lain yang lebih berharga dibanding tangannya.
Hari itu, adalah hari yang tak terlupakan. Hari di mana kami menangis bahagia. Hari di saat kami dengan bangga memupuk cita dalam hati kami untuk terus berkarya demi negeri ini, mewujudkan impian sang pionir pembentuk telaga ilmu kami ini. Hari di mana kami dengan lantang melantunkan lagu pantang menyerah. Hari di mana kami akan selalu percaya, bahwa akan ada hari esok yang lebih indah.
Hari ini memang bukan yang terakhir, tapi manisnya hari ini akan menjadi satu-satunya.
Scholastic 2016.



Zaynab Abdul Wahid



0 komentar:

Posting Komentar