27
Februari 2016
Aku buru-buru mengenakan pakaian
lengkap saat temanku memberi tahu bahwa namaku dipanggil dengan speaker
asrama. Ini masih pukul enam pagi dan apa yang mereka inginkan, sih?
“Waaa! Ayo buruan disuruh ke
Gedung G!”
“Iya bentar, Je! Gua turun
nih...” jawabnya tak kalah lantang.
Kami
membuat keributan pagi ini. Sebenarnya tidak sih, sebelumnya teman-teman satu
asrama sudah dengan heboh memanggil-manggil namaku dan Najwa. Bagaimana tidak,
yang menyuruhku keluar di pagi buta seperti ini adalah Fathi dan Fathul. Tak
perlu ditanyakan alasannya. Ah, itu sudah masa lalu.
Aku
dan Najwa yang masih dengan tampang bangun tidur akhirnya terpaksa keluar. Dan
kalian tahu? Tidak ada siapa pun di depan Gedung G. Kami sadar kalau persiapan
kami cukup lama. Tapi bukaknkah itu wajar? Kami kan, perempuan. Belum lagi, aku
butuh kepastian dari banyak orang saat akan memutuskan aku akan keluar atau
tidak. Harusnya mereka memaklumi itu!
Aku
dan Najwa hanya bisa merutuki nasib sial ini. Sampai salah satu teman laki-laki
kami keluar dari peradaban mereka, dan memberi tahu bahwa kami harus mencarikan
dua buah topeng Vendetta. Aaarggh! Kenapa pagi ini aku begitu sial?
***
20 Februari 2016
“Je,
ini rundown acaranya. Ada beberapa urutan yang berubah tapi belum sempet
gua ubah. Ini, nih...” Wardah menjelaskan padaku segala yang berkaitan dengan
jalannya acara. Aku hanya mengangguk mengerti.
Jujur,
saat ini aku masih belum bisa percaya bahwa aku dipilih menjadi pembawa acara.
Bukannya aku belum pernah, tapi waktu itu aku kan hanya menjadi MC LPJ yang
teksnya sudah dibuatkan dan tugasku hanya membacanya. Lagi pula, waktu itu
acaranya formal dan aku tak butuh banyak berimprofisasi – meski di acara itu
pun aku tetap memalukan.
Tapi
ini kan pentas seni! Walaupun ini adalah ujian praktik dari empat mata seni
yang kami pelajari, tetap saja aku tak bisa bersikap kaku-formal seperti saat
LPJ, kan? Aku tahu aku berebihan, karena secara teori, yang hadir nanti
mayoritas adalah adik kelasku – di depan mereka, urat maluku sudah putus. Tapi
tetap saja, namanya juga Zaynab. Berlebihan adalah salah satu karakterku – yang
entah mengapa sangat sulit dihilangkan.
Aku
sedang menekuri rundown yang tadi diberikan Wardah. Ia sendiri sudah
sibuk dengan teman satu timnya yang memang bertugas mengatur acara agar berjalan
lancar dan menarik. Saat ini kami – yang bertugas mengisi acara – sedang berada
di Gedung Serba Guna untuk latihan berdasarkan kelompok-kelompok yang telah
ditentukan. Rekan pembawa acaraku sendiri belum datang. Entahlah, mungkin ia terlalu khusyuk membaca Al Quran di
masjid.
Aku
berusaha untuk tidak panik, mengingat kami sama sekali belum pernah bertemu
untuk membahas tentang ini, sedangkan acara akan diadakan pekan depan. Aku tahu
kalau dia – rekanku, lebih berpengalaman karena dia pernah menjadi pembawa
acara di acara eksternal sekolah. Tapi harusnya dia bisa memahamiku, yang tak
pernah melakukan hal ini sebelumnya! Ah, memang tak pantas mengharapkan
kepekaan dari seorang laki-laki.
Untung
aku tak butuh waktu yang sangat lama untuk menunggunya. Ia dengan santainya
menghampiriku – itu pun setelah diarahkan oleh anak acara, dan tak terlihat
merasa bersalah telah datang terlambat.
“Pik,
lo udah dapet rundown belum?” aku memulai percakapan.
“Ha?
Belum.” Jawabnya.
“Ghiyats
belum ngasih?”
“Belum.”
Oh,
baiklah. Aku – yang memang bertempramen cukup tinggi, mulanya ingin protes ke
seseorang yang bernama Ghiyats itu. Tapi berhubung aku juga baru saja
mendapatkan rundown, aku tidak jadi melakukannya. Lagipula, anak acara
sudah terlalu sibuk untuk mengurusi kami.
Wardah
yang melihat Taufik berdiri tak jauh dariku akhirnya menghampiri kami. Ia
menjelaskan dengan detail kepada Taufik sebagaimana ia menjelaskannya padaku
tadi. Aku hanya memberinya tatapan semangat, karena ia harus mengulangi hal
yang sama dua kali.
Karena
kelompok-kelompok lain sudah mulai berlatih, mau tidak mau aku juga harus
menyesuaikan, bukan? Karena kami hanya berdua, Wardah akhirnya menyanggupi
untuk menemani. Tapi tetap saja, ia memiliki kewajiban lain untuk berlatih
bersama tim nasyidnya. Untuk mempermudah mobilisasi Wardah, akhirnya kami
menyeret kursi ke dekat tim nasyid yang sedang berlatih.
Aku
tidak mengenal dengan baik partnerku ini. Yang aku tahu, ia adalah orang
alim yang sangat menjaga interaksi dengan perempuan – tahu kan, ghodul
bashor dan sebagainya. Itu sih terserah dia. Yang aku harapkan saat
ini adalah ia mengajariku bagaimana jadi pembawa acara semi-formal seperti yang
pernah ia lakukan.
“Pik,
lo kan udah pernah tuh jadi MC Sonlis. Kira-kira, kalimat pembukaannya gimana,
ya?” tanyaku membuka percakapan.
“Dulu
yang buatin teks semua si Sarah. Gua tinggal ngapalin.”
“Ooh...”
aku mengangguk tak sadar. Tunggu, apa dia bilang? Apa itu artinya aku juga
berkewajiban membuatnya?
“Pas
masuk pertama kali kan standar tuh. Jalan bareng sambil salam...”
“Trus
setelahnya? Gua tuh pengen kaya Sonlis gitu loh, Pik. Pembukaan yang saling
berbalas gitu. Misalnya, gua bilang, ‘Welcome to the biggest’, trus lo bilang,
‘the bla bla bla’, nanti gua bilang lagi, ‘the apa...’ gitu misalnya...” ocehku
sambil berkhayal.
“Yaya...gua
ngerti. Dulu gua kaya gitu, tapi lagi-lagi yang buat semuanya tuh Sarah, Je.”
Aku
hanya bisa mendesah. Nampaknya terlalu muluk kalau aku mengharapkan dia untuk
membuatnya.
“Yaudah,
kita bagi tugas. Gua buat pembukaan, trus lo buat penutupan. Gimana?”
“Oke.”
Bisa
dibayangkan yang terjadi setelah itu? Kami bekerja dalam diam. Sesekali Wardah
menghampiri dan bertanya apa yang sedang kami diskusikan. Tentu aku yang
menjawab. Berkali-kali aku menghampiri Sarah dan bertanya apa yang harus
kulakukan. Dia hanya memberiku semangat karena partnerku adalah Taufik.
Aku sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri kenapa aku meributkan hal yang
sepele seperti ini. Kenapa sih, aku dilahirkan sebagai orang ribet?
Di
sela-sela kesibukkanku –yang sepertinya berlebihan untuk dikatakan sibuk, aku
memerhatikan kelompok-kelompok kecil lain yang berlatih dengan sungguh-sungguh.
Aku tak meragukan mereka untuk tampil hebat di acara kami pekan depan.
Pasalnya, mereka sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Tidak sepertiku
yang baru akan memulainya sekarang.
Mulanya aku ingin protes, apakah menjadi MC sebegitu mudahnya sehingga
aku tidak perlu dilatih? Tapi aku berusaha memahami. Aku tidak boleh semanja
itu untuk diladeni layaknya bocah kecil. Teman-teman sangat sibuk dengan
urusannya masing-masing, maka aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri dan
berusaha tampil tidak memalukan ketika acara nanti.
21 Februari 2016
“Meeh, bangun! Ayo
katanya ada latihan flashmob.” kataku mengingatkan.
Muthi
juga masih terlelap di pembaringannya. Kalau bukan karena Ummah sebagai
instruktur flashmob, aku sudah sedari tadi meninggalkan mereka berdua.
Butuh tiga sampai lima kali lagi aku mengoceh ala ibu kos sampai mereka
benar-benar terjaga dan beranjak dari atas kasur.
Beberapa
pekan terakhir, kami memang menjadwalkan Minggu pagi setelah kerja bakti dan
sarapan untuk latihan flashmob. Dalam flashmob kali ini, kami
akan menari bersama diiringi lagu Korea – karena instruktur kami adalah K-Popers.
Rencananya, flashmob akan dijadikan sebagai penutup acara kami Sabtu yang akan
datang.
Sudah
pasti tidak mudah melatih pemuda-pemudi kaku yang kerjaannya hanya belajar
seperti kami untuk bisa kompak dalam melakukan gerakan flashmob. Meski
katanya, gerakan yang dipilihkan sudah tergolong mudah, tetap saja. Banyak di
antara kami yang masih mengeluh soal gerakan ini. Tempo yang cepat juga menjadi
salah satu kendala. Belum lagi, banyak yang ‘sok’ sibuk dan tidak datang saat
latihan. Ah, manusia memang tak sempurna.
“Eh,
menurut kalian, itu gerakannya susah ngga sih?” tanya Ummah padaku dan Muthi di
sebuah kesempatan.
“Emm,,
sebenernya engga sih, Meh. Cuman, pas udah dikasih lagu dan ternyata temponya
cepet, kita jadi kaget trus kagok.” jawabku.
“Tapi
beneran deh, kita udah milihin gerakan-gerakan yang enak dan udah gampang
banget!”
“Iya, iya... Mungkin butuh latihan lebih banyak lagi kali, Meh.” Kata
Muthi mengakhiri pembicaraan.
27
Februari 2016
Aku
dan Najwa segera kembali ke asrama untuk mencari topeng yang diminta. Kabar
baiknya, kami tak harus berkeliling asrama untuk mendapatkan topeng-topeng
tersebut. Ternyata tak sepenuhnya pagi ini menyebalkan, batinku sambil
tersenyum.
“Eh,
itu topengnya kasih ke Zidna!” kata Fathul dari teras Gedung F. Zidna yang
sedang membawa boks-boks karya menghampiriku untuk mengambil topeng yang sedang
kupegang.
“Makasih...”
katanya.
“Yap!
Sama-sama.” jawabku kelewat riang. Saat aku hendak berbalik, aku melihat rekan
MC-ku berjalan dari arah poliklinik menuju asrama. Ia mempercepat jalannya dan
aku pun mengerti bahwa ia akan mengatakan sesuatu padaku.
“Je!”
panggilnya. Benar, kan?
“Ya?”
jawabku berusaha untuk tenang. Pasalnya aku sangat gugup karena hari itu aku
harus tampil sebaik mungkin.
“Kita
jam tujuh kurang lima belas aja ya udah di GSG.” Ia terlihat begitu tenang.
“Oke.”
Jam berapa sekarang? Aku reflek melirik pergelangan tangan. Dan yang
kulihat hanyalah sebentuk gelang karet hitam bertuliskan “KEEP CALM AND BE A
DOCTOR” bututku yang tak pernah kulepas entah sejak kapan. Seharusnya aku tidak
melakukan reflek aneh itu mengingat aku tak biasa mengenakan jam tangan.
Aku membalikkan badan dan segera saja melesat memasuki asrama. Aku
harus siap dalam setengah jam.
26
Februari 2016
Aku
sudah selesai melakukan ujian praktik pada mata pelajaran Al Quran dan Hadits.
Seharusnya aku masih ada ujian olah raga, tapi aku sama sekali tak
mengingatnya. Aku bergegas menuju laboratorium siswa tempat kami boleh
menggunakan komputer dengan bebas. Dengan amatir, aku membuat kertas MC –
berupa kertas berlogo yang biasa dibawa para pembawa acara, seadanya –
sebisaku.
Setelah
ku-convert ke tipe .pdf dan kusalin ke dalam flashdisk-ku,
aku langsung menuju Kopinma untuk mencetaknya. Sial memang nasibku karena file
tersebut tak bisa dibuka. Berhubung laboratorium tadi sedang digunakan oleh
guruku, akhirnya aku menumpang pada temanku yang membawa laptop untuk
membuatnya ulang.
Aku
sedang melangkah tergesa di samping gedung administrasi saat tak sengaja aku
melihat sekumpulan siswa kelas dua belas menenakan pakaian olah raga. Apa
ada sesuatu yang terlupakan?
“Eh,
siapa tuh? Jenab bukan?” seru salah seorang di antara mereka. Sontak aku
menoleh dan menyadari bahwa aku lupa sekarang waktunya ujian praktik.
“Wah, Bu Jen kacau nih, belum siap-siap!” Entah siapa lagi itu yang
menyahut. Aku tak berani menoleh lagi. Mengapa aku bisa seceroboh ini?
27
Februari 2016
“Jeeenaaab!!!”
suara Wardah kian mengeras karena sekarang ia sudah berdiri di dekatku dan
menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku kembali berkonsentrasi
dengan barang-barang yang akan kubawa. Pulpen, notes, kertas rundown,
kertas MC, handsanitizer, tisu, pelembab...
“Perlu
pake make up ngga, Je?” tanyanya, “eh, make up saman mana ya?”
lanjutnya tanpa menunggu jawabanku.
“Udah,
Jenab ngga usah diapa-apain lagi. Pake bedak aja, Je biar nggak pucat.” Sahut
Muthi dari dalam kamar.
“Yap!
Ngga usah deh, gua ngga betah, War.” Kataku dan Wardah hanya mengangguk
setuju.
“Zaii!
Mau pake BB Cream nggak? Biar tahan lama.” Tanya Ummah menawarkan.
“Boleh,
deh.”
Aku
menyambar sebuah tube kecil yang ada di meja Ummah dan kini berdiri di
depan kaca. Sekarang sudah pukul 06.40. Itu artinya waktuku tinggal lima menit
lagi. Aku segera merapikan barang-barangku dan memasukkan wedges ke
sebuah tas jinjing kecil. Aku sudah pasti takkan berani mengenakan sepatu ini
dari asrama ke Gedung Serba Guna. Kemungkinanku jatuh saat berjalan di atas pavin
block lebih besar dibanding dengan di atas ubin, kan?
Sekali lagi aku menatap cermin dan merasa aneh. Sepertinya ini kali
pertamaku mengenakan kerudung bermotif.
26 Februari 2016
Siang
ini semua orang terlihat sangat sibuk. Ada yang bolak-balik seperti setrika
dari asrama ke Gedung Serba Guna, ada yang mendedikasikan diri tinggal di living
room untuk membuat dekorasi yang belum selesai, lebih banyak lagi yang
sibuk di Gedung Serba Guna dan menghias ruangan besar itu sedemikian rupa.
Tetesan
cat di mana-mana. Teriakkan teman yang mencari tiner juga bersahutan.
Sekumpulan perempuan yang memilin benang dengan balon juga terlihat
mengasyikkan. Belum lagi abang-abang sound system yang ‘cak-cek’
sana-sini. Cowok-cowok bernyali besar bahu-membahu membuat sepetak dark
room. Ada banyak pula yang berkumpul di depan panggung untuk menempelkan
bulatan-bulatan berwarna merah, pink, dan hijau.
Aku sadar. Ini lah kesempatan terakhir kami untuk melakukan kesibukan
seperti ini, bersama-sama. Tahun lalu, kami bahkan jenuh melakukan ini semua.
Tapi sekarang, bolehkah aku meminta agar waktu untuk bergulir dengan perlahan?
27
Februari 2016
Aku
berjalan menggunakan sandal karetku sambil menjinjing gaun kepanjangan yang
sedang kukenakan. Untung saja adik kelas sudah selesai apel pagi dan sedang berkumpul
di masjid. Jadi aku tidak menjadi pusat perhatian – meski aku tak yakin akan.
Aku
sudah sampai di Gedung Serba Guna dan aku yakin jam sudah menunjukkan pukul
06.45 lebih. Tada! Tak ada sosok Taufik di sepenjuru ruangan. Apa yang
bisa kulakukan sekarang? Aku tak ingin mengulang teks MC-ku sendirian. Cukup
sekali lagi aku mengulangnya dan harus bersama dengan si rekan. Tapi sekali
lagi, ia tak terlihat di mana pun. Saat aku bertanya ke salah satu teman
laki-lakiku, ia mengatakan kalau Taufik sedang bersiap-siap. Huh, bahkan aku
yang perempuan saja bisa lebih cepat! Dia tak mungkin merias wajahnya dulu,
kan?
Melihat
temanku yang dengan rajin menyapu tangga di depan pintu masuk, aku pun
membantunya sebisaku. Yah, hitung-hitung menambah pahala meski badanku takkan
sesagar sebelumnya. Tapi tenang, aku tidak bau kok!
“Sori-sori,
gua baru dateng!”
Aku
hanya memberinya tatapan ‘tak-tahu-kah-kau-berapa-lama-aku-menunggu?’ yang aku
yakin tak mungkin ia tangkap maknanya. Aku permisi sebentar untuk mengganti
sandalku menjadi sandal lain dengan selop tujuh senti. Padahal, sama-sama
sandal, yah.
“Yaudah,
yuk langsung latihan aja. Di mana ya kira-kira?”
Aku
mulanya mengusulkan untuk latihan di depan GSG, tapi nampaknya suasana sudah
mulai ramai dan tidak memungkinkan untuk latihan. Sepertinya Taufik sependapat
denganku dan akhirnya kami memutuskan untuk latihan di belakang gedung saja.
Untung ada Pak Kris yang sedang mencuci motor, jadi aku tak perlu khawatir
berduaan dengan orang ini.
Saat itu lah, kepercayaan diri yang sudah kubangun selama seminggu
seakan retak tiba-tiba. Tanganku berkeringat dingin dan teks-teks yang telah kuhafal
seakan menguap dari kepalaku. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan
perlahan. Ini cukup membantu, meski tetap saja kegelisahan itu terngiang di
benakku.
26
Februari 2016
Malam
ini tentu saja diadakan gladi bersih sebagai bentuk ikhtiar terakhir kami
sebelum hari esok. Malam ini, semua orang bekerja keras. Seksi konsumsi sudah
siap menyeduhkan berbagai minuman hangat, semua band yang akan tampil juga
sudah siap bila dipanggil namanya. Narator sudah mantap dengan teksnya, seksi
dekorasi bahu-membahu melengkapi apa yang kurang. Sekali lagi, pemandangan ini
entah kapan dapat terulang kembali.
Aku
duduk di tempat duduk penonton dan menerka-nerka improfisasi apa yang bisa
kulakukan apabila terjadi sesuatu yang tak terduga, juga mengumpulkan apa-apa
yang dapat kudiskusikan dengan Taufik malam ini. Aku teringat sesuatu. Kertas
MC! Ah, ya. Aku harus memberikannya kepada Taufik sekarang. Aku pun menyapukan
pandanganku ke seluruh ruangan. Taufik sedang membantu menempelkan foto di
Pojok Fotografi saat aku memanggilnya.
“Nih!”
kataku sambil menyerahkan kertas itu. “Gua buat sendiri, loh...” pamerku.
“Apaan
nih?” tatapnya heran, lalu mulutnya membentu huruf ‘O’. “Kok kecil banget?”
Deg.
Iya kah? Apa aku salah ukuran?
“Ah
terserahlah. Adanya itu. Ngga mungkin kan kita ganti? Ngga ada waktu.” Ujarku
sengit.
“Iya,
iya... daripada nggak ada sama sekali.” Katanya mengalah. Nah, gitu dong
dari tadi...
Pukul
23.00 dan aku belum beranjak dari GSG. Sebenarnya sudah tak ada lagi yang harus
kulakukan di sini. Awalnya aku berniat untuk tidur cepat agar besok tak ada
kantung mata yang terukir di sekeliling mataku. Tapi entah mengapa melihat
teman-teman yang berlatih di atas panggung membuatku enggan meninggalkan
ruangan ini. Guru asramaku juga sudah berkali-kali mengimbau para akhwat agar
segera kembali ke asrama. Tanggung.
***
27
Februari 2016
Para
dancer sudah siap di posisi mereka masing-masing. Segera saja musik
dinyalakan dan mereka beraksi menarik penonton untuk mendekat. Ini pertanda
bahwa tak lama lagi giliranku untuk tampil. Aku menegaskan pada diriku bahwa
tak ada lagi waktu untuk mempertanyakan apakah aku bisa memberikan yang
terbaik. Yang harus kulakukan adalah berusaha semaksimal mungkin.
Video teaser sudah hampir selesai ditayangkan.
Kugenggam erat mic di tanganku. Kumantapkan pijakan kakiku. Kutarik
sudut-sudut bibirku sejauh mungkin. Ini lah, saatnya keraguan itu kukubur
dalam-dalam.
***
Meski
dentuman musik sering membuatku tak nyaman karena jantungku seakan mau copot,
namun kali ini aku berharap agar ia tak pernah berhenti.
Aku
memang tak memiliki suara emas, namun aku tetap bangga karena teman-temanku
memilikinya.
Aku
tak bisa membuat pop up wajah BJ Habibie ataupun desain kalender yang
keren, tapi aku punya sahabat yang bisa diandalkan.
Tanganku
tak seberharga Leonardo Da Vinci namun aku memiliki tangan-tangan lain yang
lebih berharga dibanding tangannya.
Hari
itu, adalah hari yang tak terlupakan. Hari di mana kami menangis bahagia. Hari
di saat kami dengan bangga memupuk cita dalam hati kami untuk terus berkarya
demi negeri ini, mewujudkan impian sang pionir pembentuk telaga ilmu kami ini.
Hari di mana kami dengan lantang melantunkan lagu pantang menyerah. Hari di
mana kami akan selalu percaya, bahwa akan ada hari esok yang lebih indah.
Hari
ini memang bukan yang terakhir, tapi manisnya hari ini akan menjadi
satu-satunya.
Scholastic
2016.
Zaynab Abdul Wahid
0 komentar:
Posting Komentar